“Jadi siapa orangnya?” tanya
Mersya setengah berbisik pada Nada, karena kami sekarang sedang di dalam kelas
mengikuti mata kuliah Bu Ratna yang menurutku dan mahasiswa lainnya begitu
membosankan.
“Orang
yang mana?” Tanya Nada sedikit bingung sambil setengah bebisik seperti yang
dilakukan Mersya barusan.
“Ya
ampun Nada. Cowo yang kemarin sering kamu liat di perpustakaan itu. Jangan
bilang kalau sampai saat ini kamu belum tau dia siapa.” Mersya masih terus
berbicara dengan rasa penasarannya. Ya, Nada memang senang sekali ke
perpustakaan akhir-akhir ini. Bukan karena ingin meminjam buku di perpustakaan,
namun karena seorang pria tampan yang selalu membaca buku dengan gagah dan berwibawa di perpustakaan. Walaupun
Nada sangat sering sekali bertemu dengan dia yang sedang membaca buku di
perpustakaan kampus, tapi dia tidak terlihat seperti mahasiswa-mahasiswa kutu
buku yang berdandan culun dengan kacamata tebal mereka. Dia tetap terlihat
keren dan memesona. Terutama memesona bagi Nada.
“Aku
belum tau dia sih.” Kata Nada setelah ia puas mengingat tentang pria idamannya
itu.
“Hah?
Terus?” Mersya semakin penasaran.
“Ya
terus nggak kenapa-kenapa. Emangnya mau gimana?” Nada masih santai aja
menanggapi rasa penasaran sahabatnya itu.
“Baiklah.
Kuliah hari ini cukup sampai di sini. Jangan lupa tugas kalian untuk minggu
depan. Terimakasih dan selamat siang.” Suara Bu Ratna memotong dan membuyarkan
mereka berdua. Bu Ratna pun keluar kelas dengan diikuti mahasiswa yang lain,
tidak terkecuali Nada dan Mersya.
“Habis
ini kamu mau kemana lagi? Mau ke perpustakaan?” tanya Mersya yang sepertinya
masih penasaran pada sosok pria idaman Nada.
“Hmm..
Kayaknya hari ini aku nggak ke perpus dulu Sya. Aku mau ke toko buku aja. Mau
nyari buku buat tugasnya Bu Ratna.” Jawab Nada.
“Yahh..
Padahal aku kan penasaran sama dia. Ya uda deh, aku ikut ke toko buku ya.” Kata
Mersya. Dan mereka berdua pun langsung pergi menuju toko buku yang akan mereka
tuju.
*****
“Kamu
mau beli buku apa?” tanya Mersya sesampainya mereka di dalam sebuah toko Buku.
“Aku
pengen cari buku tentang sastrawan deh kayaknya. Aku mau cari ke sebelah sana
dulu ya. Kamu mau ikut Sya?”
“Nggak
deh. Aku mau cari novel aja. Mau tambah-tambah koleksi gitu.”
“Oke
deh. Aku ke sana dulu ya.” Pamit Nada seraya meninggalkan Mersya. Nada berjalan
menuju sebuah rak buku yang berisikan buku para sastrawan. Melihat buku yang
begitu banyak terpampang di rak itu, Nada pun kebingungan untuk memilih buku
mana yang akan ia ambil. Setelah ia pusing mencari, ia pun menyerah. Nada
berjalan menuju meja kasir dan hendak meminta saran kepada petugas di toko buku
tersebut. Mungkin saja dia mendapatkan saran yang baik.
“Selamat
siang mbak, ada yang bisa saya bantu.” Sapa petugas toko buku itu dengan ramah.
“Oh
iya mas, jadi gini, saya itu lagi pengen cari buku tentang satrawan, tapi saya
bingung milih bukunya. Kira-kira mas ada saran nggak?” tanya Nada penuh
harapan.
“Buku
tentang Chairil Anwar sepertinya akan menarik. Beliau adalah salah satu seorang
penyair terkenal yang ada di Indonesia. Syair-syair yang beliau ciptakan juga begitu
indah dan mempunyai makna yang sangat mendalam. Mungkin itu bisa menjadi
refrensi.”
Mendengar
penjelasan barusan Nada hanya terdiam. Bukan hanya terdiam, bahkan dia juga
tidak mengedipkan matanya sama sekali. Ternyata yang menjawab pertanyaannya
barusan bukan petugas dari toko buku tersebut, melainkan pria di perpustakaan
yang Nada kagumi selama ini. Ya, pria itu sekarang berbicara padanya. Pria itu
kini ada di sampingnya. Tapi Nada hanya terdiam dan tidak berkomentar apa-apa.
“Kalo
menurutku sih itu. Coba aja deh kamu baca buku itu. Pasti kamu akan suka. Selamat
mencari.” Dia pun berlalu sambil melemparkan senyuman manis dari wajahnya. Menurut
Nada, itu adalah senyuman terindah yang pernah ia lihat. Setelah kepergian pria
itu, Nada hanya bisa terdiam dan masih tidak berkomentar apa-apa.
“Ada
yang bisa dibantu lagi mbak?” tanya petugas itu dan menyadarkan Nada dari
bengongnya karena pria idamannya itu.
“Eh
hmm.. Uda mas uda. Makasih ya.” Jawab Nada gugup dan terbata-bata.
“Oh
baguslah, untung saja ada Mas Panji yang bisa membantu.” Kata petugas itu lagi.
“Hah?
Siapa mas? Panji? Kok mas bisa tau nama dia sih?” kali ini Nada yang bertanya
kepada petugas tersebut.
“Ya
tau lah mbak. Dia kan pemilik toko buku ini. Mas panji memang sangat suka membaca,
jadi ayahnya mas Panji memberikan kado spesial kepadanya, ya toko buku ini
mbak. Memangnya mbak kenal sama mas Panji?”
“Ah
mmm nggak kok. Ya uda mas. Saya beli buku tentang Chairil Anwar aja, ada nggak?”
“Sebentar
ya mbak saya cari dulu.” Lalu petugas toko buku itu pun bergegas mencari buku
milik Chairil Anwar.
Oh jadi nama dia Panji. Ah aku tidak
menyangka ternyata dia adalah pemilik toko buku ini. Kalau aku tau dari dulu,
aku akan sering berkunjung ke tempat ini. Panji oh Panji, senyuman tadi adalah
senyuman paling indah yang pernah ku lihat. Batin Nada dalam hati.
“Nad,
gimana? Uda dapet bukunya? Aku uda dapet nih.” Suara Mersya tiba-tiba
membuyarkan semua lamunan Nada tentang Panji dan senyumannya.
“Uda.
Aku dapet buku tentang Chairil Anwar. Habis kita bayar, langsung pulang yuk. Aku
uda nggak sabar mau baca buku ini.” Ajak Nada sambil membayar buku yang sudah
dicarikan oleh petugas tersebut.
*****
Keesokan
harinya, Nada berniat untuk lebih memberanikan diri. Dia berencana untuk
mengajak bicara Panji, pria idamannya selama ini. Nada pun melangkahkan kakinya
menuju perpustakaan. Seperti dugaan Nada, Panji sudah duduk manis sambil
membaca sebuah buku. Ternyata nyali Nada tidak sebesar yang ia bayangkan. Saat melihat
wajah Panji, rasanya susah baginya untuk hanya sekedar berkata “Hai” saja.
Nada
pun mengeluarkan secarik kertas dan menulis sesuatu di atas kertas tersebut. Nada
melihat lagi ke arah Panji yang ada di depannya. Dan Panji masih asik dengan bukunya. Nada berjalan
pelan melangkahkan kakinya, mendekati Panji yang sedang asik membaca. Sesampainya
di dekat Panji, Nada bukannya berbicara atau menyapa Panji, tapi dia malah
hanya memberikan secarik kertas yang tadi Nada pegang dan memberikannya kepada
Panji, lalu ia berlari meninggalkan Panji.
Panji
hanya terdiam dan heran melihat tingkah laku Nada barusan. Ia hanya memandangi
sebuah kertas yang ada di dalam genggamannya saat ini. Dengan rasa penasaran,
Panji pun membuka kertas yang diberikan oleh Nada.
Terimakasih ya buat saran kamu kemarin. Itu sangat
membantuku untuk menentukan pilihan. Terimakasih juga untuk sebuah senyuman
yang kamu berikan kemarin. Itu adalah senyuman terindah yang pernah aku lihat. Maaf
jika aku lancang menulis ini semua. Tapi aku hanya ingin berterimakasih saja. Terimakasih
Panji sudah menjadi penyemangatku selama ini. Walaupun aku hanya mampu
melihatmu dari kejauhan, tapi aku sudah cukup bahagia. Apalagi saat melihat
sebuah senyuman di wajahmu. Aku begitu bahagia. Terimakasih sekali lagi. Nada
Panji
hanya tersenyum membaca tulisan singkat dari Nada untuknya. Dia pun mulai
mengambil sebuah bulpoin yang ada di dalam kantongnya, dan menulis di dalam
kertas yang sama. Setelah selesai menulis, ia pun meninggalkan secarik kertas
tersebut di meja itu juga. Dia tau pasti Nada akan mengambil kertas tersebut
lagi. Lalu ia pun pergi dengan meninggalkan kertas tersebut di atas meja.
Ternyata
benar dugaan Panji, sedaritadi Nada masih berada diantara rak-rak buku di dalam
perpustakaan. Dia masih belum pergi meninggalkan Panji. Tapi kali ini, Panji
lah yang pergi dan meninggalkan secarik kertas di atas meja. Dengan cepat, Nada
langsung mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang Panji tulis.
Sebelum kamu menulis surat ini, aku sudah
tau jika kamu sering sekali memperhatikanku. Aku tau jika kamu sering
melemparkan senyum untukku. Walau aku tidak melihatnya, tapi aku bisa
merasakannya. Jika kau tau, aku juga merasakan hal yang sama dengan mu. Kau juga
menjadi salah satu bagian dari semangatku. Senyumanmu juga begitu indah bagiku.
Tapi maaf, bukannya aku ingin menolakmu, tapi aku belum siap untuk menjalin
sebuah hubungan dengan siapapun. Aku ingin fokus dengan kuliahku terlebih
dahulu. Aku tau ini pasti menyakitkan bagimu. Tapi percayalah, aku berjanji
setelah kelulusan kita, aku akan menemuimu dan menyatakan cinta ini dengan
resmi kepadamu. Apa kau bersedia menantiku? Apa kau bersedia juga menjaga hati
untukku selama itu? Tunggu aku dua tahun lagi, dan kita akan merasakan apa itu
yang namanya cinta dengan indah. Terimakasih untuk senyumanmu kepadaku,
janganlah berhenti tersenyum kepadaku, karena senyumanmu membuatku semangat
untuk menjalani dua tahun ini. Terimakasih. Panji.
Tak
terasa ada sesuatu yang basah mengalir dikedua pipi lembut Nada. Membaca tulisan
yang diberikan oleh Panji dia merasa terharu dan bahagia. Dia tidak bisa
menahan air mata bahagia yang keluar dari matanya kali ini. Ternyata Panji juga
sering memperhatikannya dan dia menyuruh Nada menunggu selama dua tahun. Jika itu
memang mau Panji, Nada akan siap menjaga hatinya untuk Panji.
Dari
kejauhan terlihat sosok Panji yang sedang memandangi Nada. Ternyata Panji masih
belum beranjak dari perpustakaan. Dia ingin melihat reaksi Nada saat membaca
balasan surat darinya. Melihat ekspresi Nada yang bahagia, Panji pun tersenyum
sangat manis dan lega. Ia pun berjanji akan benar-benar menjaga hatinya untuk
Nada dan menepati janjinya dua tahun yang akan datang. Kini Panji dan Nada pun
sama-sama tersenyum, karena ternyata senyuman mereka berdualah yang bisa
menjadi semangat satu sama lain.