Tanpa kusadari memori itu
teringat kembali. Memori kenangan yang selama ini selalu berusaha untuk aku
lupakan. Tanpa sengaja aku bercerita panjang lebar kepada semuanya tentang ‘kita’
yang dulu. Aku mengingat semua kejadian saat ‘kita’ masih bersama. Mengulang kembali
kisah yang telah terkubur selama beberapa bulan ini. Seharusnya aku sudah tak
lagi mengingat semua itu bukan? Tapi otak ku selalu egois dan memaksaku untuk
selalu mengingat semua kenangan itu. Mulutku terlalu lancang untuk menceritakan
semuanya kembali. Membuat mata tak bisa lagi berbohong bahawa aku masih
mencintai dan merindukannya. Kali ini aku menahan air mataku agar tidak
mempermalukan ku di depan kenangan bodoh itu. Aku tak ingin mataku mengeluarkan
sesuatu yang berair lagi dan membasahi kedua pipiku. Hatiku sudah merasa lelah
dengan semua kebodohan ini. Tapi bagiku, memori ‘kita’ yang dulu terlalu indah
untuk aku buang begitu saja.
Aku
tahu jika sebuah perpisahan mengajari kita untuk bisa lebih dewasa. Tapi apa
kau tahu, perpisahan ini begitu kejam bagiku. Ia datang tanpa ku undang di
dalam kehidupan cintaku. Dia datang dan mengacaukan segala mimpi indah yang
sedang aku rasakan. Dan dia datang mengubah segalanya. Pertemuan singkat ini,
telah dihapuskan oleh sebuah perpisahan. Semua memori tentang ‘kita’ yang dulu
masih selalu terbayang dan membuat perpisahan tertawa bahagia melihatnya. Mungkin
aku terlalu berlebihan, tapi inilah perasaan seseorang yang tulus mencintai
kekasihnya. Tapi perpisahan ini masih tak terlalu menyakitkan bila dibandingkan
dengan dirimu yang ‘mungkin’ sudah melupakan semua kenangan ‘kita’ yang dulu. Tidak
ada yang lebih menyakitkan saat kita hanya mengingat memori seorang diri, tanpa
dia yang mengingatnya juga.
Ketika
semua itu terjadi, aku hanya bisa tertawa menertawakan diriku sendiri yang
bodoh ini. Ya, mungkin diriku memang bodoh karena masih menyimpan semua memori
itu. Bahkan kini memori itu semakin sesak di dalam otakku. Sehingga, otakku
sudah tidak bisa menerima memori lain kecuali tentang ‘kita’ yang dulu. Memori ini
memaksaku untuk selalu menceritakan semuanya kembali. Sampai kapan keegoisan
ini akan berlanjut? Sampai kapan hati ini merasakan sakit karena merindu? Bahkan
bibir ini terlalu pengecut. Saat mata ini melihat kembali wajah seseorang di
masa laluku, ia tak berani menyapanya. Yang ia lakukan hanyalah membuat tubuh
ini mematung dan hati ini berdebar tanpa memberikan sepatah kata pun kepada
sesosok yang aku rindukan itu. Kembali otak ini memutar semua memori. Sampai kapan
kah aku harus menyimpan semua memori yang dulu terlihat indah, namun sekarang
begitu menyakitkan.
Tapi
setelah aku berpikir, biarkanlah kenangan ini masih tinggal di dalam pikiran
ku. Walaupun dirinya ‘mungkin’ telah melupakan semuanya, tapi aku masih ingin
menyimpan semuanya. Karena semua yang ‘kita’ laluin dulu, bagiku adalah
kenangan yang terindah.