Kau tidak mengingatku, itu akan menyakitiku. Tapi, jika kau lebih mengingatnya dibandingkan denganku, itu akan lebih menyakitiku. Lebih baik kau tidak mengingatku, dibandingkan kau harus selalu mengingatnya. Akan kuajari dirimu bagaimana agar terus bisa mengingatku.
“Aku bilang
tinggalkan aku sebelum aku berubah menjadi orang lain yang tak mengenalmu!!”
Nattan berteriak tegas. Tasya terdiam dan hanya menatap Nattan. Apartement
Nattan kini terasa begitu sunyi.
“Tasya, aku
mohon...” Kini suara Nattan menjadi lebih lembut. “Aku nggak mau lihat kamu
tersiksa seperti ini. Penyakit ku ini pasti sangat menyiksamu.”
Tasya tetap
terdiam, tanpa ia sadari, ada sesuatu yang mengalir membasahi kedua pipinya.
Semenjak Natta terkena penyakit Alzheimer, ia benar-benar harus berjuang. Masa
lalu Nattan bersama seorang wanita yang sangat ia sayangi begitu melekat di
dalam otaknya. Ketika penyakitnya kambuh, Tasya harus berjuang untuk menjadi
dua pribadi yang berbeda. Tasya yang ceria dan energic harus berubah menjadi
seorang Ara yang lembut dan anggun. Semua ini ia lakukan hanya demi Nattan,
tunangannya.
“Aku tidak
peduli Nattan!! Aku tidak peduli seberapa parah penyakit itu merambat ke otakmu
dan menghilangkan semua kenangan kita!! Aku tidak pernah peduli!!” Kini Tasya
angkat bicara. Air mata semakin deras keluar dari kedua mata indahnya.
“Tasya....”
“Aku ingin
pernikahan kita tetap berlanjut!! Aku ingin kita meneruskan pertunangan kita
sampai ke pelaminan.”
Kini giliran
Nattan yang terdiam. Entah sampai kapan Tasya harus menanggung beban karena
efek dari penyakitnya ini. Selama tiga tahun ini ia selalu menderita karena
Nattam. Bayangan masa lalu dengan Ara masih terus melekat dalam ingatannya.
Sehingga, ketika penyakit Alzheimernya kambuh, yang ada di dalam pikirannya
hanya Ara bukan Tasya.
“Dokter
bilang penyakitmu bisa sembuh. Kamu hanya harus berjuang melawan masa lalumu
dengan Ara. Aku yakin, penyakit itu akan hilang. Dan kamu bisa hidup normal
Nattan.” Tasya menggenggam tangan Nattan dengan lembut.
Nattan masih
terdiam. Pandangannya kosong. Ia merasakan sakit di kepalanya. Ia melepaskan
genggaman tangan dari Tasya dan memegangi kepalanya yang kesakitan. Tasya hanya
terdiam. Ia tau jika penyakit Nattan akan kambuh. Ia selalu siap dengan apa
yang akan terjadi setelah ini.
“Nattan..
Nattan.. Kamu nggak apa-apa?” Tasya mencoba menenangkan Nattan. Tapi Nattan
malah menepiskan tangan Tasya dan memandangnya penuh amarah.
“Siapa
kamu?! Jangan pernah sentuh aku!!” Nattan berteriak kepadnya. Tasya pun sebisa
mungkin menahan agar air matanya tidak jatuh disaat seperti ini. Tasya berusaha
untuk tersenyum kepada Nattan.
“Aku Ara,
Nattan.” Nada bicara Tasya pun berubah menjadi sangat lembut dan tenang.
Mendengar kata Ara, Nattan pun menjadi tenang dan mendekat ke arah Tasya.
“Ara...”
Nattan mengelur rambut Tasya. “Kamu kemana aja? Aku sangat merindukanmu. Aku
mencintaimu Ara.” Lalu ia memeluk Tasya dengan lembut. Tasya pun menangis
ketika berada dipelukan Nattan. Ara memang lah wanita yang sempurna untuk
Nattan. Kalau saja ia tidak pergi dengan pria lain, mungkin Nattan tidak akan
mengalami hal semacam ini.
Kata dokter,
depresi yang dialami Nattan sangat besar, dan itu menyebabkan kemampuan kerja
otaknya menjadi berkurang, sehingga penyakit Alzheimer pun menyerangnya. Tapi,
Alzheimer yang diderita Nattan tidak terlalu parah, hanya beberapa hari sekali
penyakitnya kambuh. Dan ketika penyakitnya kambuh, Nattan akan melupakan
semuanya kecuali kenangannya bersama Ara.
“Aku selalu
di sini Nattan. Selalu di sini bersamamu..” Kata Tasya lirih.
*****
Waktu terus
berjalan. Pernikahan antara Tasya dan Nattan pun semakin dekat. Walaupun Nattan
sedikit ragu dengan pernikahan mereka, tapi Tasya selalu ada untuk meyakinkan
Nattan. Semakin hari, penyakit Alzheimer yang diderita oleh Nattan semakin
parah. Terkadang penyakit Alzheimernya bisa kambuh tiga hari sekali. Sekuat
tenaga Tasya berusaha untuk menenangkan Nattan dengan berpura-pura sebagai Ara.
“Tasya, jika
kamu terus berpura-pura sebagai Ara, Nattan tidak akan pernah bisa melupakan
masa lalunya. Dan itu akan membuat penyakitnya semakin parah. Jika itu terjadi,
bisa-bisa dia akan terjebak pada masa lalunya.” Kata Dokter Ryan, ketika Tasya
mengunjunginya untuk konsultasi soal Nattan.
“Tapi Dok,
aku tidak sanggup kalau harus melihat dia terus-terusan merasa kesakitan ketika
mencari dimana Ara berada.” Tasya tertunduk.
“Dengar
Tasya, berpura-pura menjadi Ara tidak akan merubah suasana menjadi lebih baik.
Jika kamu ingin Nattan segera sembuh, kamu harus menjadi Tasya ketika penyakitnya
kambuh. Ingat, beberapa hari lagi pernikahan kalian akan dilaksanakan.
Berhentilah untuk berpura-pura menjadi orang lain, Tasya. Kamu harus rela
melihat dia sakit untuk beberapa saat saja, dibandingkan harus kamu yang selalu
sakit.” Dokter mencoba menenangkan Tasya.
Tasya
menarik nafas panjang, “Baik Dok, aku akan berusaha...”
*****
“Tasya,
kamu cantik sekali nak menggunakan gaun itu.” Kata Ibu Tasya ketika melihat
anaknya tampak cantik menggunakan gaun pengantin.
Tasya
tersenyum kepada Ibunya, “Terimakasih Bu..”
Ruangan
tempat akad nikah Tasya dan Nattan sudah terisi penuh oleh tamu-tamu undangan.
Nattan pun sudah duduk rapi di depan sang penghulu. Ia tampak gugup sekali,
terlihat dari tangannya yang suka memainkan jarinya ketika ia merasa gugup.
Tasya datang perlahan dari luar. Ia tampak terlihat cantik dan anggun dengan
balutan gaun pengantin berwarna putih. Rambutnya di gulung dengan sangat
cantik, juga riasan di wajahnya yang membuat ia semakin terlihat sempurna.
Lengkungan indah terlihat di wajah Nattan dari bibirnya. Ia tersenyum ketika
melihat sang calon istri sangat cantik di matanya.
Tasya
pun duduk di sebelah Nattan dengan perlahan. Nattan masih terus melihat ke arah
Tasya. Ia benar-benar terkesan dengan penampilan Tasya di hari yang special
ini. Tiba-tiba sekelebat bayangan di masa lalu Nattan muncul di dalam
pikirannya. Ia merasakan sakit di kepalanya. Penghulu pun memanggil namanya
berkali-kali karena akad nikah akan segera dimulai. Sekuat tenaga Nattan
berhasil mengendalikan semuanya seperti semula lagi. Tapi rasa sakit di
kepalanya masih terasa.
Penghulu
pun mengulurkan tangannya untuk membuat janji sehidup semati antara Nattan dan
Tasya. Nattan, mengulurkan tangannya juga. Sang penghulu mulai membuat janji
kepada Nattan. Kepala Nattan mulai terasa sakit. Bayangan-bayangan masa lalunya
bersama Ara mulai berlari-lari di otaknya. Nattan tidak bisa berkonsentrasi
dengan yang penghulu katakan. Kepalanya terlalu sakit, ia melepaskan tangan
sang penghulu dan memegangi kepalanya yang kesakitan sambil berteriak.
Semua
orang yang ada di ruangan itu tampak panik, tidak terkecuali Tasya. Ia
memanggil-manggil nama Nattan. Tasya sudah mengira ini semua akan terjadi.
Penyakit Nattan akan kembali kambuh. Ia
teringat kembali perkataan Dokter Ryan, jika ia harus melawan penyakit dari
Nattan itu. Nattan pun terdiam karena kesakitan yang menyerang kepalanya sudah
mereda. Ia membuka matanya, semua orang tampak panik melihat Nattan yang
kesakitan. Nattan bangun dan terduduk kembali. Lalu ia memandang ke arah Tasya.
“Ara...”
Panggil Nattan lembut. Semua orang yang berada di dalam ruangan begitu terkejut
ketika Nattan memanggil nama wanita lain dan bukannya Tasya.
“Ara,
kamu cantik sekali.” Nattan terus memanggil Tasya dengan sebutan Ara. Tasya pun
terdiam. Air matanya pun jatuh membahasi wajahnya dan melunturkan riasan
wajahnya.
“Bukan...”
Dengan nada pelan dia mengatakan hal itu. Wajah Nattan tampak kebingungan.
“Aku
bukan Ara!!! Hentikan itu Nattan!!!” Kali ini Tasya memberanikan diri untuk
melawan penyakit Nattan. Ia sudah tidak tahan karena harus berpura-pura sebagai
Ara. Dia berusaha mengikuti kata-kata dokter, dan membiarkan Nattan sakit dalam
beberapa saat saja dibandingkan ia harus menderita seperti ini terus.
“Apa?
Bohong!! Kamu Ara kan. Tunanganku. Dan kita sekarang akan menikah.” Nattan
masih bersikeras. Semua orang yang ada di ruangan itu hanya bisa terdiam
menyaksikan perdebatan antara Nattan dan Tasya.
“Nattan!!
Buka matamu!! Aku ini Tasya, bukan Ara. Ara uda pergi ninggalin kamu. Dan di
sini hanya ada aku. Tasya!!” kepala Nattan terasa sangat sakit sekali. Bayangan
masa lalunya datang dan pergi di dalam pikirannya.
“Ara
nggak pernah ada buat kamu! Selama ini akulah yang ada di sisimu. Aku yang
selalu menemani hari-harimu. Ara uda pergi dengan kekasih barunya. Ia sudah
mempunyai rumah tangga sendiri. Sadarkan dirimu!!” Tasya masih terus bersikeras
agar Nattan tidak mengingat Ara lagi.
Nattan
masih terus memegangi kepalanya yang kesakitan. Ia merasakan sakit yang luar
biasa. Bayangan Ara kembali muncul, ingatannya tentang Ara yang meninggalkannya
karena pria lain berhasil muncul di dalam pikirannya. Ara pergi, dia melepaskan
Nattan begitu saja karena pria lain yang lebih kaya dibandingkan Nattan.
Tiba-tiba muncul seorang wanita bernama Tasya, ia yang selalu menemani
hari-harinya setelah kepergian Ara. Sampai pada akhirnya, ia melamar Tasya.
Orang-orang
semakin panik melihat Nattan yang kesakitan. Ara hanya bisa terdiam dan
menangis melihatnya. Semua orang bertanya apa yang terjadi pada pengantin pria.
Tapi Tasya tetap terdiam. Sampai akhirnya Nattan terjatuh dan tak sadarkan
diri.
*****
Nattan
membuka kedua matanya. Terlihat ruangan serba putih ada di depan matanya. Rasa
nyeri di kepalanya masih terasa. Ia memegangi kepalanya yang terasa sakit.
Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang lembut tangan Nattan. Tasya. Ia sudah
ada di samping Nattan. Memandangnya dengan lembut. Masih berbalut gaun
pengantin putih yang cantik, tapi riasan wajah dan rambutnya sudah tidak lagi
serapi tadi.
Mata
Tasya tampak sembab karena terlalu banyak menangis. Nattan tersenyum pada
Tasya. Ia merasakan ketulusan dari Tasya kepadanya. Nattan pun membalas
genggaman tangan Tasya. Ia juga menghapus air mata yang membasahi wajah cantik
Tasya.
“Maafkan
aku Nattan..” Kata Tasya lembut.
“Seharusnya
aku yang mengatakan hal itu. Maafkan aku, karena selama tiga tahun ini selalu
membuatmu menderita. Kini aku sadar jika Ara memang benar-benar sudah pergi
dari hidupku. Dan kamu yang selalu hadir selama ini, bukan Ara. Maafkan aku,
Tasya.” Nattan memandang lembut ke arah Tasya.
“Nattan,
kamu ingat kalau selama ini kamu menganggap aku Ara?”
“Iya,
maafkan aku. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu.” Tasya tersenyum
mendengarkan perkataan dari Nattan barusan.
“Bukankah
seharusnya hari ini pernikahan kita? Tapi kenapa riasanmu seperti itu?” Nattan
menggoda Tasya.
“Ayo
panggil penghulunya kemarin, saat ini juga aku akan menikahimu...” Tasya pun
tersenyum dan menangis. Kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan
kebahagiaan. Penyakit itu sudah berhasil pergi dari diri Nattan. Nattan sudah
tidak lagi merasakan depresi yang berlebih. Ia sudah kembali ke kehidupan
normalnya bersama dengan Tasya, wanita yang sangat ia cintai.